Jika kita berbicara tentang bagaimana interaksi yang dilakukan antar manusia sebagai makhluk sosial, tentunya komunikasi menjadi elemen yang penting dalam hal ini. Komunikasi tidak bisa dipisahkan dari rutinitas kegiatan manusia sehari-hari. Pentingnya kebutuhan akan komunikasi dan informasi kemudian mendorong manusia untuk berinovasi dalam hal penyediaan media komunikasi yang efektif dan mampu memberikan informasi yang dibutuhkan secara akurat. Akan tetapi, tak jarang terjadi kesalahan dan berbagai kendala maupun kepentingan-kepentingan yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan arus dan juga susbstansi informasi pada media komunikasi.
Antara negara maju dan berkembang sebenarnya telah terjadi ketimpangan informasi yang kemudian menjadi salah satu permasalahan pelik. Untuk mengantisipasi fenomena ini, United Nations telah menyadari perlunya penyebaran dan pemerataan informasi secara proporsional karena merupakah hak bagi semua orang untuk memperoleh informasi dan memiliki pandangan secara bebas. Hal ini tergambar dalam deklarasi UN berikut “
“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. (UN The Universal Declaration of Human Rights, Article 19)”[1]
Seperti yang tercantum dalam deklarasi tersebut, UN menitikberatkan pada kebebasan individu untuk memperoleh informasi melalui media sebagai salah satu hak bagi siapa pun melalui media. Bahkan, UN juga menyatakan dalam “Calling of an International Comference on Freedom of Information” paragraph pertama bahwa :
“Freedom of information is a fundamental human right and is the touchstone of all freedoms to which the United Nations is consecrated.”[2]
Kebebasan dalam memperoleh informasi adalah hak yang fundamental dan menjadi pijakan bagi seluruh kebebasan yang diperhatikan oleh UN. Hal-hal yang termasuk dalam kebebasan memperoleh informasi ini adalah hak untuk mengumpulkan, menyalurkan, dan mempublikasikan informasi dimanapun tanpa adanya penghalang.[3] Hal ini juga menjadi faktor yang esensial bagi usaha-usaha yang mempromosikan perdamaian dan kemajuan dunia. Informasi memegang peranan penting dalam pembentukan opini public dan point of view masyarakat.
Walaupun demikian, hingga saat ini fenomena-fenomena seperti ketidakmerataan informasi, media yang melaksanakan perannya secara tidak objektif, dan minimnya informasi yang dikeluarkan oleh media massa membuat proses komunikasi, pemahaman dan pembentukan opini masyarakat menjadi tidak optimal sebagai menunjukkan implikasi dari adanya ketimpangan arus dan isi informasi.
Jika ketimpangan arus dan isi infromasi memang benar adanya, lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Berbagai faktor dan elemen dapat mempengaruhi pola, proses, dan substansi penyampaian informasi kepada masyarakat. Faktor-faktor inilah yang kemudian perlu dikaji agar dapat ditemukan satu benang merah yang menawarkan jawaban untuk dapat mengatasi persoalan ketimpangan arus dan isi informasi.
Faktor yang pertama adalah adanya perbedaan ideologi maupun sistem yang digunakan oleh negara-negara di dunia. Mengapa hal ini dapat mempengaruhi proses penyampaian informasi? karena sistem atau ideologi negara inilah yang kemudian menentukan batas-batas fleksibilitas, pola, serta proporsi penyampaian informasi melalui pers. Jika suatu negara menggunakan prinsip-prinsip demokrasi, negara tersebut akan memberlakukan kebijakan yang lebih mengutamakan kepada kebebasan pers untuk mencari informasi dan menyampaikannya dalam bentuk berita kepada masyarakat. Pemerintahan demokrasi juga menggunakan pers sebagai check and balance terhadap kinerja pemerintaha dengan memanfaatkan informasi yang dilaporkan pers melalui sudut pandang pers. Di negara-negara demokratis cenderung tidak memperlihatkan ketimpangan arus maupun isi informasi.[4] Memang, praktek-praktek seperti pers yang ditunggangi kepentingan, media yang tidak objektif, maupun informasi yang overlapping sulit untuk dihindari. Akan tetapi, masyarakat tetap dapat memperoleh haknya dalam memperoleh informasi sebebas-bebasnya.
Lain halnya dengan negara-negara yang cenderung otoriter dan tidak demokratis. Negara-negara ini pada umumnya kerap menggunakan tindakan kebijakan yang opresif terhadap wewenang media dalam memberikan ataupun meliput informasi. Masyarakat di negara ini cenderung mengetahui informasi-informasi yang “dilegalkan” oleh pemerintah yang notabene telah mengalami proses sensorship terlebih dahulu. Bahkan pemerintah tidak segan-segan membredel media yang tidak mengikuti peraturan pembatasan oleh pemerintah (Mochtar Lubis; 19987). Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan arus dan isi informasi, karena masyarakat di negara yang otoriter memperoleh informasi yang tidak sama dengan negara-negara demokratis lainnya. Contoh yang nyata terjadi di era Soekarno dan orde baru dimana media sangat dibatasi oleh pemerintah.[5] Bahkan media pers Abadi dibredel oleh pemerintah karena tidak menandatangani 19 persyaratan pemerintah tentang aturan media pers ( Mansyur Semma ;2003 ).
Fenomena ketimpangan informasi ini juga terjadi di era perang dingin, dimana saat itu media dijadikan sebagai alat propaganda yang terpercaya. Fenomena seperti propaganda anti komunis yang dilancarkan barat terhadap negara-negara strategis membuat arus informasi menjadi tidak seimbang. Hal ini juga terjadi di Indonesia dimana media massa hanya memuat informasi yang barat sentries dan tidak menyajikan informasi yang proporsional tentang timur melalui propaganda Amerika Serikat.[6] Oleh karena itu, di era Cold War, negara-negara yang berkiblat atau dibawah kekuasaan blok barat tidak memperoleh informasi yang seimbang tentang dunia timur, begitupun sebaliknya.
Kedua, kelemahan infrastruktur dan sistem informasi antara negara berkembang dan negara maju.[7] Walaupun era globalisasi yang dalam dekade belakangan ini kerap digembar-gemborkan dengan jargon “Global village’[8] dimana akses untuk memperoleh informasi dan koneksi dari belahan bumi manapun menjadi semakin mudah, kendala-kendala untuk memperoleh informasi sepertinya masih menghantui negara-negara berkembang. Lemahnya infrastruktur dan sistem informasi menyebabkan masyarakat tidak dapat memperoleh informasi tepat waktu. Mungkin sebagai contoh Indonesia sebagai negara berkembang.[9] Walaupun untuk di kota-kota besar seperti Jakarta , Bandung, Jogja, dan kota-kota lainnya akses informasi sangat mudah diperoleh, akan tetapi kenyatan sebaliknya masih terjadi di wilayah wilayah terpencil atau yang berada sangat jauh jaraknya dari pusat pemerintahan atau pusat kota. Contoh nyata adalah masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Barat. Keadaan yang terpencil minimnya sarana penyedia informasi, membuat masyarakat di daerah ini memiliki pengetahuan tentang perkembangan dalam negeri yang minim dan ironisnya mereka bahkan memiliki akses informasi yang jauh lebih mudah tentang keadaan Malaysia karena media informasi Malaysia sangat mudah diakses di daerah ini.[10] Menkominfo Tifatul Sembiring mencoba menerapkan program Desa Informasi di daerah ini sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan informasi yang menjadi ancaman bagi perasaan integritas masyarakat disana dengan negara Indonesia.[11] Upaya yang sama juga dilakukan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia di wilayah Kaltim yang berbatasan langsung dengan Malaysia.[12]
Hal ini juga diikuti dengan adanya digital gap atau digital devide (kesenjangan dalam perolehan akses dan penggunaan dunia digital/internet)[13] yang merupakan kesenjangan penggunaan teknologi seperti internet dalam pemenuhan kebutuhan akan informasi di negara-negara berkembang, khususnya negara-negara seperti Afrika. Bahkan ketimpangan informasi ini diibaratkan seperti Gran Canyon, yang berarti memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Hanya 4% warga Afrika yang memiliki akses internet dan harus membayar sebesar $ 250- $300 untuk koneksi internet yang sangat lambat.[14] Walaupun berbeagai usaha peningkatan teknologi telah diupayakan oleh UN dan World Bank, akan tetapi fenomena digital gap di Afrika ini masih menjadi krusial. Hal ini tentunya menghambat masyarakat negara berkembang seperti Afrika untuk memenuhi haknya dalam memperoleh informasi. Padahal, hak tersebut adalah hak fundamental dalam deklarasi UN no.19.[15]
Muatan kepentingan krn media membentuk opini public
Ketiga, adanya muatan kepentingan yang menunggangi media massa untuk membentuk opini publik. Memang, media massa sangat berperan dalam pembentukan opini publik melalui informasi, spekulasi, dan analisis yan disampaikannya kepada masyarakat. Beberapa media pers yang ditunggangi oleh kepentingan sang pemilik menyebabkan perbedaan informasi atau posi pemberitaan yang berbeda pula dengan media pers lainnya. Karena menyadari perannya yang sangat signifikan dalam mempengaruhi pandangan dan pola pikir masyarakat, media massa kerap dijadikan sebagai alat bagi golongan tertentu yang sarat dengan kepentingan, khususnya kepentingan politis dan ekonomi. Contoh nyata adalah perbedaan antara CNN, Foxnews, dan Aljzeera dalam mempublikasikan berita maupun data temuan keduanya. Dalam meliput invasi AS ke Irak dan menyajikan data korban, kedua jaringan pemberitaan tersebut memiliki perbedaan data yang cukup kontras.[16] Hal ini kemudian dianulir sebagai bentuk perbedaan kepentingan antara barat dan timur.
Tidak hanya itu, media di Indonesia seperti Metro TV dan TV One cenderung melontarkan berita-berita yang kritis terhadap pemerintahan saat ini. Kedua media yang dimiliki oleh dua orang yang berpengaruh ini juga memiliki perbedaan pola pemberitaan yang kentara. Hal ini kemudian dikeluhkan oleh masyarakat dan meminta KPI untuk menindaklanjuti perihal neutralitas kedua media.[17] Dalam kasus Gayus Tambunan, Metro TV sangat gencar memberitakan perkembangan kasus di setiap hari. Sedangkan, bila anda membuka saluran TV One, hampir sepi dari kasus Gayus. Hal ini menunjukkan adanya pola pemberitaan yang proposinya berbeda antara satu media dengan media yang lain sehingga membuat masyarakat kesulitan dalam memperoleh informasi yang objektif. Ini menunjukkan adanya ketimpangan informasi yang dikhawatirkan dapat merangkai dan menuntun pola pikir masyarakat menjadi seusai dengan kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Padahal, seharusnya media dapat mendidik masyarakat secara objektif dengan informasi yang proporsional.
Mengkaji faktor-faktor di atas, ketimpangan arus dan isi informasi bahkan hingga saat ini masih menjadi isu yang krusial, walaupun konsep globalisasi kerap digembar-gemborkan. Apakah hal ini sudah meunjukkan tercapainya tujuan dari globalisasi yang menginginkan keadaan dunia tanpa batas dan kelancaran arus informasi? Untuk memecahkan permaslahan ini sepertinya tidaklah gampang. Karena untuk mempengaruhi rezim otoriter yang membatasi media di suatu negara dictator, mengatasi maslah ketertinggalan teknologi dan sistem informasi di negara berkembanga, serta mencegah pengaruh kepentingan dalam media, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan kesadaran oleh pemerintah akan pemenuhan hak rakyat terhadap informasi yang berimbanga, kesadaran media kan neutralitas dan keobjektifan, serta kesadaran masyarakat untuk berupaya memenuhi informasi sebagai haknya. Jika ketiga aktor dalam komunikasi internasional ini telah menyadari perannya dan permasalahan yang terjadi, seharusnya ketimpangan arus dan isi informasi dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Belmonte, Laura A, 2008. Selling the Amerika way : U.S Propaganda and The Cold War, University of Pensylvania Press, Pensylvania
Rajaee, Farhang, 2000. Globalization on trial: the human condition and the information civilization, Carleton University, Ottawa Ontario
Semma, Mansyur, 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas negara, manusia Indonesia, dan perilaku politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Snow, Nancy, dan Greg Palast, 2003, Information war: American propaganda, free speech and opinion control since 9/11, Seven Stories Press, New York
Website :
· Batam Times, Netralitas dikeluhkan Earga, Metro TV dan TV One Dipanggil KPI, dalam
http://www.batamtimes.com/nasional/2594-netralitas-dikeluhkan-warga-metro-tv-a-tvone-dipanggil-kpi-.html diakses pada 1 April 2011
· Jr, Gaffney Frank, 2003, Take Out Al Jazeera, dalam www.foxnews.com
http://www.foxnews.com/story/0,2933,98621,00.html diakses pada 1 April 2011
· Komisi Penyiaran Indonesia, 2010, TVRI Mempertahankan Nasionalisme di Perbatasan Kalimantan Timur, dalam
http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1952%3Atvri-mempertahankan-nasionalisme-di-perbatasan-kalimantan-timur&catid=14%3Adalam-negeri-umum&lang=id diakses 1 April 2011
· Menkominfo canangkan ‘Desa Informasi’ di perbatasan Indonesia-Malaysia, dalam
· The Economist, 2007, Africa and The Internet, The Digital Gap, dalam
http://www.economist.com/node/9990626?story_id=9990626 diakses 1 April 2011
· United Nations, The Universal Declaration of Human Rights, dalam
http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml diakses pada 1 April 2011
· United Nations, Calling of an International Conference on Freedom and Information, dalam
http://www.article19.org/work/regions/latin-america/FOI/pdf/UN1946Resolution.pdf diakses pada 1 April 2011
· UNCTAD XXII, 2008, Developing Countries Must Upgrade Infrastructure, Invest in Skills Training to Bridge Rich-Poor Information Gap, Says Ghanaian Minister, dalam http://www.unctadxii.org/es/Media/Comunicados-de-prensa/Developing-Countries-Must-Upgrade-Infrastructure-Invest-In-Skills-Training-to-Bridge-Rich-Poor-Information-Gap-Says-Ghanaian-Minister/ diakses 1 April 2011
[3] Ibid,.
[4] Nancy Snow dan Greg Pralast, Information war: American propaganda, free speech and opinion control since 9/11, hlm. 12
[5] Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: pemikiran Mochtar Lubis atas negara, manusia Indonesia, dan prilaku politik, hlm. 253
[6] Laura A Belmonte, Selling the American way: U.S. propaganda and the Cold War, hlm. 16
[8] Farhang Rajaee, Globalization on trial: the human condition and the information civilization , hlm. 134
[9] Op.cit.,
[11] Ibid,.
[15]Op.cit,.
gut.. danke estel
BalasHapus