Sebagai seorang pengamat zaman, tentunya kita mengetahui bagaimana fase sejarah yang dihadapi negara Indonesia yang penuh dengan dinamika dan kekhasan tersendiri. Sejarah memaparkan bagaimana lika-liku jatuh bangun perjalanan negeri seribu pulau ini menjadi sebuah bangsa yang utuh dan dewasa. Pada fase awal dimana euforia kemerdekaan masih menjadi hangat untuk dielu-elukan, terjadi berbagai tindakan yang menyalahi prinsip kebebasan, hak asasi manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan di era kolonialisme. Adalah era kediktatoran yang sebenarnya juga dibarengi oleh semangat patriotisme dan kemandirian yang diusung oleh Soekarno yang kemudian menimbulkan gejolak di masyarakat dan perlawanan yang diusung oleh golongan mahasiswa dimana Soe Hok Gie menjadi populer saat itu dan tetap menjadi inspirasi hingga saat ini. Rezim kediktatoran jatuh, dan digantikan oleh sebuah rezim baru yang mengusung kombinasi antara pembangunan konkret dan juga kediktatoran yang absolut. Rakyat dibawah pemerintahan Soeharto dibungkam selama kurang lebih 32 tahun dan berada dalam sebuah keseragaman yang dipaksakan mengingat Indonesia adalah negeri yang pada dasarnya dinamis, plural, dan multukultural. Freedom of speech, human right, dan segala bentuk kebebasan yang dianggap dapat mengancam eksistensi rezim orde baru akan ditekan atau bahkan dihapus dari peredaran. Barulah pada tahun 1998 kejenuhan masyarakat yang memuncak direfleksika dengan gerakan pro reformasi yang memiliki beberapa tuntutan demi memberikan perubahan significant bagi kehidupan bangsa yang lebih normal dan manusiawi.
Ya, dengan tujuan memanusiakan manusia dengan jalan yang manusiawi. Direbut dengan korban yang tak sedikit, akhirnya rezim orde baru tumbang dan masa transisi pun dilakukan. Era reformasi, era dimana semua orang bebas mengutarakan pendapatnya, berekspresi,berpikir, menulis, mengkritisi, mengkaji, menganalisis, dan berbagai bentuk implementasi kebebasan yang merupakan nature seorang manusia seutuhnya.Tidak ada lagi pemerintahan yang mengkukung rakyatnya seperti katak dalam tempurung, tidak ada lagi pembredelan media massa, tidak adalagi penangkapan2 lawan politik pemerintah atau oposisi, tidak adalagi penembak-penembak misterius, tidak ada lagi tokoh2 intelektual yang hilang tanpa kabar, tidak ada lagi pemaksaan penyeragaman identitas, dan yang berkembang adalah kehidupan bangsa yang menjunjung kebebasan, hak asasi manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan. Demokrasi, mulai dipupuk sedikit demi sedikit dalam periode kurang lebih 12 tahun ini. Pluralistas diakui, homogenitas dihargai, dan perbedaan diakomodir sebagai kekayaan bangsa seutuhnya. Tapi, apakah masyarakat Indonesia benar-benar menghargai kebebasan yang mereka peroleh ini?atau mereka malah misuse dan menyalahgunakan konsep kebebasan yang telah disediakan pemerintah?
Kira-kira beberapa hari yang lalu, saya membuka sebuah posting di facebook milik teman saya yang berkewarganegaraan Belanda. Ia mem-posting sebuah video yang membuat saya melakukan tindakan berikut :
1. Menonton video tersebut
2. Mengernyitkan dahi
3. Menarik napas dalam2
4. Mengucapkan nama Tuhan
5. Menggeleng2kan kepala
6. Bodohnya saya, saya terus mengingat video tersebut berhari2
7. Menyesali apa yang terjadi di dalam video tersebut
8. Malu sekali karena video tersebut di posting oleh orang Belanda yang notabene orang Belanda dan dikomentari dengan kritisan tajam teman2nya. They keep asking ; is it really in Indonesia???
Jika anda menebak video apa itu, saya hanya bisa menjawab ; video tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kalangan yang mengaku mewakili kalangan MAYORITAS sehingga merasa memiliki otoritas absolute untuk melakukan tindakan anrkis dan semna-mena terhadap kalangan MINORITAS atas dasar penistaan agama.
Oke, penistaan agama mungkin memang sebuah hal yang prinsip dan krusial. Oke, penistaan agama adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip agama seutuhnya. Penistaan agama adalah tindakan yang tidak dapat dijustifikasi oleh agama manapun. Lalu, apakah atas dasar penistaan agama tindakan kekerasan bisa diberikan kebebasan begitu saja? apakah atas dasar penistaan agama tiga orang warga negara Indonesia harus tewas mengenaskan? apakah atas dasar agama, perbedaan dan hak golongan minoritas harus diabaikan? Saya juga tidak setuju dengan berbagai tindakan penyelewengan dan penistaan agama, akan teta[pi saya juga tidak setuju dengan segala bentuk tindakan kekerasan, anarki, dan semena-mena apalagi jika dilakukan atas nama Tuhan yang Maha Besar sebagai tamengnya.
Masih ingatkah anda tentang kejamnya tindakan otoriter pemerintahan Indonesia sebelum era reformasi? Well, saya bisa menelaah bahwa sekarang telah terjadi sebuah fenomena dimana rezim otoritarian sedang dilakukan. Akan tetapi, bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh sekelompok masyarakat yang mengaku mewakili golongan mayoritas. Ya, sekarang tindakan otoriter malah dilakukan oleh kalangan yang merupakan bagian dari masyarakat. Otoritas ada di tangan masyarakat. Ironis sekali bila kita membayangkan betapa susahnya merebut kebebasan sebelum era reformasi dahulu. Akan tetapi, tindakan-tindakan anarki dari segelintir orang yang berasal dari kalangan masyarakat telah menodai arti kebebasan, hak asasi manusia, toleransi, dan arti dari pluralism. Melihat fenomena ini, muncul pertanyaan, apakah sebenarnya masyarakat kita belum siap untuk menerima perbedaan? Apakah masyarakat kita belum siap untuk memberi ruang bagi kebebasan dan hak asasi manusia? Bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah kesatuan yang terdiri dari berbagai perbedaan etnis, agama, dan suku bangsa selama berpuluh-puluh tahun lamanya, apakah masyarakat kita perlu waktu seratus tahun lagi untuk mendewasakan diri? Bukan hanya masyarakat yang harus berbenah, pemerintah juga harus ikut berperan. Jangan sampai pemerintah dan aparat negara lengah dan tidak peka terhadap gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negeri. Seharusnya, pemerintah dan masyarakat harus dapat mendewasakan diri mengingat umur negara kita yang sudah tidak muda lagi dan menuntut kita untuk bersikap lebih matang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar